Workshop sejarah budaya 4 etnis bagi tour leader.
Quality plaza hotel makassar. 9th of Novembre 2017.
Sponsored and leaded by the office of tourism and culture south sulawesi.
This is real time info brought to you by voyageindo wisata indonesia tous and travel makassar.
This event is happening in right now in quality hotel makassar.
To have the same information about the culture and tourim information in south sulawesi.
In south sulawesie consists of 4 main ethnic, buginesse, makasaresse, torajanesse,and mandaresse.
Keynote speaker
Head of the office culture and tourism of Makassar
This picture has been taken from the group 9f hpi and celoteh bersama
This picture has been taken end cession of dicussion about tourism and culture
Penjelasan mengenai Sejarah, Adat Istiadat suku Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan. Bugis merupakan kelompok etnik atau suku dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat yang masih melekat kuat. Orang-orang Bugis banyak menyebar di seluruh provinsi Indonesia.
Awal mula
Suku Bugis tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Bahasa Bugis
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Bugis yang tersebar di beberapa kabupaten. Biasanya masing-masing kabupaten memiliki dialek tersendiri dalam penggunaan bahasa bugis. Selain itu masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional yang memakai aksara Lontara.
Perkembangan
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan)
Adat Istiadat
Dalam budaya suku bugis terdapat tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang budaya orang bugis, yaitu konsep ade, siri na pesse dan simbolisme orang bugis adalah sarung sutra.
Konsep ade
Ade yang dalam bahasa Indonesia adalah adat istiadat. Bagi masyarakat bugis, ada empat jenis adat yaitu :
Ade maraja, yang dipakai dikalangan Raja atau para pemimpin.
Ade puraonro, yaitu adat yang sudah dipakai sejak lama di masyarakat secara turun temurun,
Ade assamaturukeng, peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan.
Ade abiasang, adat yang dipakai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam masyarakat.
Menurut Lontara Bugis, terdapat lima prinsip dasar dari ade yaitu ade, bicara, rapang, wari, dan sara. Konsep ini lebih dikenal sebagai pangngadereng. Ademerupakan manifestasi sikap yang fleksibel terhadap berbagai jenis peraturan dalam masyarakat. Rapang lebih merujuk pada model tingkah laku yang baik yang hendaknya diikuti oleh masyarakat. Sedangkan wari adalah aturan mengenai keturunan dan hirarki masyarakat sara yaitu aturan hukum Islam. Siri memberikan prinsip yang tegas bagi tingkah laku orang bugis.
Menurut Pepatah orang bugis, hanya orang yang punya siri yang dianggap sebagai manusia.
Naia tau de’e sirina, de lainna olokolo’e. Siri’ e mitu tariaseng tau. Artinya Barang siapa yang tidak punya siri, maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor binatang.
Namun saat ini adat istiadat tersebut sudah tidak dilakukan lagi dikarenakan pengaruh budaya Islam yang masuk sejak tahun 1600-an
Konsep siri’
Makna “siri” dalam masyarakat bugis sangat begitu berarti sehingga ada sebuah pepatah bugis yang mengatakan “SIRI PARANRENG, NYAWA PA LAO”, yang artinya : “Apabila harga diri telah terkoyak, maka nyawa lah bayarannya”.Begitu tinggi makna dari siri ini hingga dalam masyarakat bugis, kehilangan harga diri seseorang hanya dapat dikembalikan dengan bayaran nyawa oleh si pihak lawan bahkan yang bersangkutan sekalipun.
Siri’ Na Pacce secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse yang berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”. Sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”. Struktur Siri’ dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu :
1. Siri’ Ripakasiri’
Adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
2. Siri’ Mappakasiri’siri’
Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
3. Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’)
Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal. Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah mempermalukan dirinya sendiri.
4. Siri’ Mate Siri’
Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yangmate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.
Penyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
Mata pencarian
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
Perompak
Sejak Perjanjian Bongaya yang menyebabkan jatuhnya Makassar ke tangan kolonial Belanda, orang-orang Bugis dianggap sebagai sekutu bebas pemerintahan Belanda yang berpusat di Batavia. Jasa yang diberikan oleh Arung Palakka, seorang Bugis asal Bone kepada pemerintah Belanda, menyebabkan diperolehnya kebebasan bergerak lebih besar kepada masyarakat Bugis. Namun kebebasan ini disalahagunakan Bugis untuk menjadi perompak yang mengganggu jalur niaga Nusantara bagian timur.
Armada perompak Bugis merambah seluruh Kepulauan Indonesia. Mereka bercokol di dekat Samarinda dan menolong sultan-sultan Kalimantan di pantai barat dalam perang-perang internal mereka. Perompak-perompak ini menyusup ke Kesultanan Johor dan mengancam Belanda di benteng Malaka.
Serdadu bayaran
Selain sebagai perompak, karena jiwa merantau dan loyalitasnya terhadap persahabatan orang-orang Bugis terkenal sebagai serdadu bayaran. Orang-orang Bugis sebelum konflik terbuka dengan Belanda mereka salah satu serdadu Belanda yang setia. Mereka banyak membantu Belanda, yakni saat pengejaran Trunojoyo di Jawa Timur, penaklukan pedalaman Minangkabau melawan pasukan Paderi, serta membantu orang-orang Eropa ketika melawan Ayuthaya di Thailand. Orang-orang Bugis juga terlibat dalam perebutan kekuasaan dan menjadi serdadu bayaran Kesultanan Johor, ketika terjadi perebutan kekuasaan melawan para pengelana Minangkabau pimpinan Raja Kecil.
Bugis perantauan
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskardan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka.
Penyebab merantau
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis diakses tanggal 6 desember 2014
http://blogerbugis.blogspot.com/2013/04/adat-istiadat-suku-bugis-ade-siri-na.html diakses tanggal 6 desember 2014
http://busbonecomunty.blogspot.com/2012/10/adat-istiadat-suku-bugis.html diakses tanggal 6 desember 2014
http://imbasadi.wordpress.com/agenda/data-karya-ilmiah-bebas/unhas/makna-siri-na-pacce-dimasyarakat-bugis-makassar-friskawini/ diakses tanggal 6 desember.
Suku Makassar
Sejarah Suku Makassar ~ Suku bangsa ini sendiri lebih suka menyebut diri mereka sebagai orang Mangasara. Sebagian besar berdiam di Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Maros dan Pangkajene di Provinsi Sulawesi Selatan. Sama seperti suku bangsa bugis, masyarakat ini juga memiliki kebiasaan merantau melintasi laut. Sebagian di antara mereka merantau ke berbagai daerah lain di Indonesia, serta terkenal pula sebagai pelaut dan pedagang antar pulau yang gigih. Jumlah populasinya sekitar 2.000.000 jiwa.
Bahasa Suku Makassar
Bahasa Makassar atau Mangasara dapat dibagi atas beberapa dialek, antara lain dialek Lakiung, Turatea, Bantaeng, Konjo dan Selayar. Sama seperti bahasa Bugis, bahasa Makassar juga pernah mengalami perkembangan dalam kesusasteraan tertulis yang dikenal sebagai aksara lontarak, yaitu sistem huruf yang bersumber dari tulisan sansekerta. Salah satu naskah yang terpenting adalah Sure Galigo atau La Galigo, yaitu sebuah kumpulan mitologi tentang asal usul masyarakat dan kebudayaan suku bugis. Selain itu bahasa Makassar juga berkembang dalam berbagai bentuk puisi klasik, seperti kelong (pantun) dan sinriti (prosa liris yang dinyanyikan).
Mata Pencaharian Suku Makassar
Pada dasarnya mata pencaharian orang Makassar adalah menanam padi di sawah yang telah mengembangkan sistem irigasi tradisional. Selain itu, pertanian sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman keras juga cukup berkembang. Akan tetapi di mata masyarakat lain orang Makassar lebih terkenal sebagai nelayan penangkap ikan, pedagang dan pelaut yang gigih. Mereka telah mengembangkan tradisi dan pengetahuan kelautan yang mengagumkan. Jenis perahu Makassar yang disebut pinisi terkenal sebagai perahu yang kuat dan ramping serta mampu mengarungi lautan luas selama berbulan-bulan. Karena ciri kebudayaan seperti itu, maka orang Makassar sering diidentikkan dengan orang Bugis, tidak heran kalau kedua nama itu sering ditulis oleh penulis lama dalam kata majemuk Bugis-Makassar.
Kekerabatan Suku Makassar
Sistem hubungan kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat ini adalah bilateral, karena keluarga besar pihak ayah dan pihak ibu dianggap sama-sama memiliki peran penting dalam kehidupan sosial seseorang. Tetapi mereka mengkategorikan hubungan kekerabatan itu berdasarkan kedekatan dan keakrabatan. Kerabat yang dianggap "dekat" disebut bija. Kerabat dekat ini dibedakan lagi menjadi bija pammanaka, yaitu kerabat dekat karena hubungan darah, dan bija panreng-rengan, yaitu kerabat dekat karena hubungan perkawinan. Bentuk pemilihan jodoh secara tradisional cenderung endogami keluarga besar, terutama pilihan yang disebut saudara sepupu silang, walaupun pada masa sekarang sudah amat sulit dipertahankan. Sedangkan pola menetap sesudah menikah cenderung untuk bersifat virilokal, yaitu tinggal menetap di lingkungan pihak orang tua lelaki suami.
Masyarakat Suku Makassar
Pelapisan sosial masyarakat Makassar terpengaruh oleh sisa-sisa sistem sosial zaman Kerajaan Tana (Buta) ri Gowa dan Kesultanan Makassar dulu. Pada zaman dulu Kerajaan Gowa dibagi ke dalam beberapa daerah yang disebut bate. Masing-masing diperintah oleh seorang kepala negeri yang disebut karaeng atau gollarang. Pada masa sekarang para bangsawan keturunan raja-raja Gowa itu disebut ana' karaeng Maraenganaya. Lapisan sosial orang biasa yang mayoritas, disebut maradeka. Pada zaman dulu dikenal pula satu lapisan paling bawah, yaitu para hamba sahaya yang disebut ata.
Agama Dan Kepercayaan Suku Makassar
Orang Makassar sudah sejak lama memeluk agama Islam. Walaupun begitu dalam kehidupan sehari-hari sebagian masih mempertahankan sisa-sisa keyakinan pra-Islam. Sebelum kedatangan agama Islam orang Makassar mempercayai adanya tokoh-tokoh dewa dan roh nenek moyang serta makhluk gaib lainnya. Tokoh dewa tertinggi dalam keyakinan mereka itu disebut Patotoe atau Dewata Seuae (Dewata Yang Tunggal). Keyakinan lama itu masih nampak dalam pelaksanaan upacara-upacara setempat, terutama yang berkaitan dengan pertanian dan daur hidup, serta pemeliharaan tempat-tempat yang dianggap kerama
0 comments